CIREBON - Salah
satu rangkaian acara Festival Keraton Nusantara (FKN) ke XI adalah Sarasehan
Budaya yang diadakan oleh Keraton Kanoman. Acara tersebut diisi oleh tiga
narasumber antara lain Radhar Panca Dahana, Ichwan Azhari, dan Eva Nur Arovah
dengan dipandu oleh budayawan muda M. Khoirul Anwar KH.
Acara tersebut
berlangsung di Bangsal Jinem Keraton Kanoman Cirebon, pada Minggu (17/9). Acara
yang dihadiri oleh kalangan mahasiswa, akademisi, dan umum itu bertemakan
“Merangkai Marwah Kesultanan Kanoman dengan Spiritualitas Budaya Sunan Gunung
Jati”. Menurut ketua pelaksana acara tersebut mengatakan “Tema itu diangkat
untuk membangun kembali rasa kecintaan masyarakat atau khususnya bagi generasi
muda Cirebon pada Keraton Kanoman, dan mengembalikan marwah Keraton Kanoman itu
sendiri yang kian hari mulai diabaikan oleh masyarakat” ujar Farihin dalam
sambutannya.
Eva Nur Arovah sebagai
narasumber yang pertama membahas tentang konflik dan sejarah Keraton Kanoman
dari masa kini, dulu, dan nanti. Dia mengatakan “Semenjak wafatnya Pangeran
Jalaludin, kegaduhan di Keraton Kanoman seolah tidak terhenti, perebutan
kekuasaan terjadi lagi antara Pangeran Saladin dan Pangeran Emirudin, semua
media massa yang ada di Cirebon, hampir semua membackup dan mempublikasikan hal
tersebut. Orang lebih cenderung membicarakan konflik yang terjadi di dalam
Keraton Kanoman di era dua ribuan”, ujar Eva.
Dia juga mengatakan “hampir
setiap abad perjalanan dalam Keraton Kanoman itu ada peristiwa-peristiwa yang
gaduh, ketika Sultan Kanoman pertama wafat, saudaranya mendirikan Kacirebonan dengan alasan untuk memperluas
syi’ar Islam, meskipun pada akhirnya menjadi kesultanan juga”, lanjut Eva.
Sementara Ichwan Azhari
mengatakan “salah satu penyakit kronis keraton-keraton di Indonesia adalah
konflik internal, dari perspektif sejarah konflik internal itu suatu hal yang
umurnya sudah panjang lima ratus tahun, berarti nyaris mustahil konflik itu
bisa terselesaikan”, tutur Ichwan.
Menurut Budayawan
Radhar Panca Dahana, raja atau sultan yang ada di Indonesia berhak menerima
gaji hingga satu milyar, karena tugas dan tanggung jawabnya untuk merawat
keraton itu tidaklah mudah, lebih dari itu kebudayaan yang ada di
keraton-keraton itu harus tetap terjaga sehingga tetap eksis tak tergerus
zaman.
“Tanggung jawabnya
tinggi memelihara keraton, seperti memperbaiki tembok yang rusak lantaran
catnya yang pudar, tidak seperti membongkar rumah biasa”, ucap Radhar.
Dalam acara tersebut, Radhar Panca Dahana juga sempat menyinggung tentang generasi pada saat ini yang lebih cenderung fokus berjam-jam di hadapan gadget pintarnya dibandingkan untuk membaca buku “Anda dengan HP, dengan pruduk yang smartpone lima ratus ribu itu saja anda sudah takluk dibekukan, tidak bisa berbuat apa-apa, jadi apabila dalam industri informasi, komunikasi anda cuman, aapa yaa? Sama HP-nya aja udah tunduk apalagi dengan ilmunya” ucap Radhar.
Dalam acara tersebut, Radhar Panca Dahana juga sempat menyinggung tentang generasi pada saat ini yang lebih cenderung fokus berjam-jam di hadapan gadget pintarnya dibandingkan untuk membaca buku “Anda dengan HP, dengan pruduk yang smartpone lima ratus ribu itu saja anda sudah takluk dibekukan, tidak bisa berbuat apa-apa, jadi apabila dalam industri informasi, komunikasi anda cuman, aapa yaa? Sama HP-nya aja udah tunduk apalagi dengan ilmunya” ucap Radhar.
Radhar sangat prihatin
dengan keadaan generasi muda saat ini, karena mereka lebih betah berjam-jam
khusyu memandang layar gadget nya untuk membaca status di Media Sosial,
dibandingkan untuk membaca buku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar